Sore ini aku terpukau, menatap jauh ke dalam matanya
hingga tak berkedip nol koma sekian detik pun
hanya agar tak kehilangan sepeser cahaya pun dari sorotnya
Jauh, kutikam jauh ke dalam matanya
dan tak kulewatkan sejengkal jari pun agar tak tertinggal
oleh mimpinya, cintanya padaku
Juga kuraup beberapa aroma parfumnya yang memaksaku
terpikat pada sepi, tergetar oleh anggunnya senja
Sengaja kuletakkan parfumku sejenis dengannya,
Maksudnya memang agar kami terlihat match satu sama lain
Ia mulai resah, memang, aku memasang mimik yang menakutkan
Aku hanya ingin menang dalam permainan kecil ini, seperti biasanya
ia yang kalah
Memang kuciptakan permainan ini karena aku cinta menatap dan
menangkap cahaya matanya, bukan, yang benar mencurinya
Kutatap setajam belati panas bekas api yang mengganas
jauh dan masih sangat jauh ke dalam matanya
Ia resah, ia menangis!
Lalu ia menangis
Tatapan yang kuciptakan menelurkan ingatannya pada kelam
Pada titik hujan yang mulai turun, ia menangis
Aku terlelap dalam kebersalahanku yang memuncak,
harusnya tak pernah kuciptakan
dan kumainkan permainan bodoh ini, sama sekali tak berguna!
Tangisnya berkecimpung di antara gundah sore
juga di antara hujan yang tak pasti turunnya,
kadang deras, kadang jarang
Ingatannya kembali pada kesakitan beberapa tahun lalu
saat ia terusir dari pikiran kekasihnya, yang ia harapkan
Sakit, dan sangat sakit
Tatapanku sama, persis mati, dengan tatapan kekasihnya yang membunuh
kelu cintanya di beranda rumah
Lalu tertutup pula pintu peminta maaf pada cinta
yang harusnya akan ia lakukan, saat itu
Tatapanku sama, persis mati!
Rasanya mulai hilang padaku, mulai pudar kembali
“Sembuhkan lukaku sesulit kusembuhkan lukaku selama satu tahun! Tolong sembuhkan!”
Aku bukan kekasihnya, dulu
Aku bukan
Ini aku, yang di depannya adalah aku,
yang mencintainya seperti angin di atas kerajaan awan
Air minum penghaus nafsu juga kuderu agar menegaskan hatinya,
penetral tangisnya
Kubelai lembut bibir pucatnya saat beku dalam angin penat di tengah gerimis
dan kusibak rambut merah kuncir kuda lurus bak korden miliknya, ini aku
Ini aku, aku adalah mimpimu, mimpi kita
Masih ingat?
Ini aku, sayang
Aku adalah aku, hanya aku
Jangan hiraukan masamu pada tangismu, ini sekarang, ini aku
Mari, biar kugapai punggung tanganmu
lalu kita berjalan beriringan di tengah terjangan hujan dan terpaan arus banjir
Mari, kita selesaikan dunia ini, kita kibarkan bendera itu di penghujung hidup
Kembalikan hatimu, seperti yang semula kauberikan penuh untukku
Aku hanya bisa menoreh maaf,
meski kautolak karena bukan maafku dan aku tak pernah salah
Aku berhenti, menatapnya
Setidaknya aku tak ingin membunuh hari-hari barunya
hanya dengan sorot tajamku lagi
Aku pasti tetap menatapnya
lewat mata hati
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar