Selamat petang,
Embun.
Sedikit banyak,
mungkin aku memahami isi hatimu kini,
jangan lupakan,
kita satu.
Meski tak
sebanyak yang aku tak tahu, aku mengerti tanpa menebak hatimu gundah.
Ya, sudah lama
tak kupakai kata itu,
gundah.
Milikmu dalam
pikiranmu sedang runyam,
rentan terhadap
malam yang sepi.
Sinar itu.
Semua menamparku
untuk menyadarkan aku bahwa ini sedang hari ini.
Saat itu sebuah
biru menyeka seluruh kelam,
merah dan kelabu
sedang menoleh ke arah pukul sembilanku.
Senja telah
mendaki ke arah kenang yang tak pernah jadi harap.
Kini sebilah
parang hampir berbicara,
aku sempat
tertipu ketika denyut jantung mulai meningkat tajam
dan dentum kaki
tak terasa.
Malam sedang
angkuh, yang kuekspresikan tadi,
kini
bergelombang dan menghampiri angkasa.
Saat ini di
depanku telah berlangsung sebuah adegan, opera.
Penyajinya
sebuah permadani kumuh.
Dan catatan ini
berakhir dan bersisa pada angka 391.
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar