Masih duduk di
antara sunyi-sunyi yang bertolak mesra bersama angin riuh yang datang malam
ini.
Lebih kaku dari
sebuah jurnal hitam berisi barisan antologi-antologi kegagalan, bukan, itu
kumpulan keletihan.
Padahal di
antaraku terdengar pecah tawa mantan-mantan orang-orang bodoh yang dulu aku pun
ikut dalam kebodohannya.
Yang kutanam
masih sepi, ini apa? Malam?
Jujur, ketika
kutelusuri jalanan fana berlatar belakang rimba, yang kulihat adalah
fatamorgana.
Sukses sana-sini
membuatku tenggelam dan semakin buta bahwa aku ini siapa?
Iya, aku masih
tak menemukan siapa aku di balik kacamata plastikku, masih rindu dan semakin
menjadi-jadi ketika kutahu namaku tetap aku tetapi yang kurasa bukan aku.
Aku di mana?
Masih sadarkah aku?
Lalu aku
berjalan menuju mulut tebing, kuteriakkan panggilan kepada namaku.
Bahkan tak ada
pantulan gema dari tebing-tebing coklat yang bekas reruntuhannya membentuk
menyerupai kepala monster. Itu bukan aku.
Pernah aku
bertanya kepada genangan bekas hujan pada suatu subuh, di mana aku?
Apakah aku masih
hidup, atau sudah mati? Ah, mungkin lagi-lagi akan berprasangka buruk dan
tenggelam dalam kenegatifan pikiran.
Aku hanya ingin
menarik napas panjang, sejenak, sedetik saja. Mmm, mungkin biarkan aku melakukannya sendiri.
Lalu, lagi-lagi
kurencanakan untuk pergi ke sebuah tebing yang lain. Sejujurnya aku ingin
mencari aku, masih adakah aku di sana?
Ya, aku masih
berharap saat menuju tebing itu, aku bertemu diriku yang aku pun masih rindu,
seperti biasanya.
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar