Terik sudah berkuasa ketika aku terjaga perlahan, kutengok ke arloji
kecil kuning emas yang warnanya sedikit terkelupas dan hampir tak menunjukkan
bahwa itu adalah kuning emas, jarum kembarnya menunjuk ke arah yang hampir
sama, pertengahan angka sembilan, hanya saja jarum yang lebih muda sedikit
mundur di belakang kakaknya. Sudah sangat terlambat untuk bangun dari standard
jam aktif, iya, itu aku.
Aku berjalan menuju mimpi dan harapan, itu sudah sebuah rutinitas tanpa
bebas yang wajib terjalani. Di tengah terik yang beramai-ramai menarik jakun
hingga kering, terlintas sebuah tanya ketika aku sedikit lagi sampai di
permukaan sebuah nyata, seberapa besar kekuatanku untuk melindungi
pematah-pematah harapan itu? Iya, sering kudapati bangkaiku ketika aku gagal
memilih dan selalu (masih) tak bisa mempertimbangkan sebuah (atau mungkin lebih
dari sebuah) pilihan. Lalu kemudian aku berandai tanpa logika, seberapa lama
aku masih bisa berdiri?
Kembali menuju jalan ceritaku, saat ini aku telah sampai di ujung gang
yang setelah kubaca bernama “Gang Guanhati”. Sepanjang jalan gang itu dapat
kusapu pandangan bahwa terdapat tiga sampai empatpuluh rumah yang masing-masing
(tidak ada yang tidak) terdapat jemuran-jemuran pakaian yang harusnya sudah tak
layak pakai lagi, namun tetap dijemur. Perlahan, kutiti jalanan setapak paving block dan kupahami betul
bentuk-bentuk rumah setiap rumah. Satu rumah kubaca bertuliskan “Keluarga Pak
Aiha Timu”. Lalu kutengok rumah depannya, tertulis “Keluarga Mas Ihbi
Ngungkahkau”. Semakin tak paham, kupercepat langkahku yang mulai gontai karena
peluh telah berhasil sampai di puncak ubun-ubun.
Inginnya, kupercepat langkahku agar segera keluar dari gang aneh ini.
Namun yang terjadi semakin kususuri dan semakin panjang saja gang ini. Salah
perkiraanku dengan tiga sampai empatpuluh rumah, atau ini hanya refleksi
fatamorgana di tengah imajinasi siangku? Bosan dan lelah meniti gang ini,
akhirnya kutemukan sebilah cutter
kecil di ranselku, seingatku ini biasa kupakai untuk memotong satu mimpi yang
telah terpatahkan, mmm, mungkin sudah
lebih dari sepuluh mimpi. Lalu kuiriskan pada nadi lengan kiriku yang konon
berisi catatan-catatan buruk hidupku. Iya, aku ingin berakhir dari gang ini,
aku asing dan tersesat. Sudah terbentuk sebuah garis kira-kira dua senti dan
keluar cairan merah pekat, itu darah, ya? Perlahan aku mulai lemas, pandanganku
tak sebaik sebelumnya, saat masih kupakai kacamata minusku yang mencapai
silinder. Sesaat lalu kutemukan sebuah gang kecil di salah satu sudut dan
tertulis pada papan kayu kecil bertuliskan “You
should choose this way”. Iya, aku menyesal? Pasti. Terlalu cepat kuputuskan
aku mengiris semuanya dan membuat berakhir. Keputusan yang salah? Pasti itu aku.
Aku memang tak pernah sematang itu berpikir tentang perencaan sebuah pilihan.
Iya, sudah gagal.
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar