Iya.
Aku sedang kolaps
Tolong bantu aku untuk
mengambil langkah dalam pernapasan,
Oh, aku kolaps, tak tahan, rasanya perih, sesak
dalam himpitan peluru-peluru tajam
bekas perang dingin
antara mimpi dan rencana yang selalu beradu muka, bertabrakan,
Aku tertindas hangat
pada keramaian dan keributan polusi-polusi yang aku tak pernah paham,
aku memang tak pernah
dipahamkan karena aku awam
Aku tak pernah
Kolaps
Aku tak berdaya dalam
tekanan tengah malam
Jera, aku sudah lelah
pada lengah yang kutulis dan kususun pelan-pelan
Aku tersesak, aku
sesak,
aku sulit meraih
oksigen demi oksigen
Aku sedang sesak
Kolaps
Jadi, kolaps itu apa?
Aku tak mengerti
artinya, yang kutahu rasanya sesak
Tak seperti biasanya,
tak semudah biasanya
Aku hanya ingin kita
ambil napas sejenak,
bersama-sama
Iya, kita
Aku bermimpi, sudah
lama, bisa berlari dengan tanpa terengah-engah
Kita,
di sana kita yang
sedang berlari
lalu berhenti pada satu
titik, di ujung tebing itu
Bukan, bukan berhenti
untuk apapun,
bukan berhenti untuk
keburukan apapun
Kita sedang berhenti,
kita menyapu pandangan
ke seluruh sudut, tebing-tebing kecil
langit-langit biru muda
yang sedikit (beberapanya tertutup mendung) cerah
Iya, tolong genggam
telapak tanganku, rasakan
Beku, bukan?
Aku sedang kolaps
Mati rasa, beku bibir,
kaku organ aktif
Aku ingin kamu
Aku sedang sesak, kolaps
Bisa kuminta sebuah
tolong,
peluk aku?
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2012)