Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, 2014 |
Hari ini aku bertemu lagi dengannya. Dengannya yang belum juga mengerti tentang rasaku padanya. Ah, aku selalu begini, selalu terjebak dalam spekulasiku sendiri. Aku sering menyalahkannya tak pernah mengerti rasaku padahal harusnya aku yang tak pernah berani sampaikan rasaku. Entah, tapi dengan sering meletakkan dia di posisi yang salah karena tak pernah tahu rasaku, aku lebih bisa punya banyak cerita.
Kembali ke ceritaku hari ini. Dia yang bahkan bukan berawal dari teman dan hanya karena bekerja dalam satu lingkup denganku, kini berakhir dengan aku yang jatuh padanya dan aku tak pernah tahu apa juga sebaliknya. Seperti biasanya, hari ini berakhir dengan aku diantarnya menuju rumah tinggalku, dengan menikmati sisa malam berpiring-piring sebelumnya. Kamu gila, aku bukan suka saat-saat seperti ini, tapi AKU GILA KARENA SUKA SAAT-SAAT SEPERTI INI.
Menghabiskan sisa malam dengan mencoba menelurkan sebuah cerita iseng. Jadi, aku suka dengannya dengan sebab yang sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana. Bukan karena paras tampannya, iya, itu hanya kuanggap bonus. Bukan karena sifat wibawanya sebagai pemimpin yang kuanggap bijaksana, iya, itupun bonusku. Pun bukan karena dia pintar memainkan dawai-dawai biola dan sering kuintip dari radius sepuluh meter saat dia meng-cover beberapa lagu, dan yang itu jelas juga bonus yang kudapatkan darinya. Tunggu, bonus dan bonus? Bahkan aku belum memilikinya, dan aku sudah menganggap mendapatkan banyak bonus darinya? Hahaha, tak apalah. Ini ceritaku, kan? Jadi biarkan aku melukis alurku sendiri dengan tokoh-tokoh yang kusamarkan dan mungkin kubelokkan agar benar-benar hanya aku yang bisa menikmatinya sembari telentang di tanah lapang menelusur lautan bintang pada pukul duabelas.
Aku suka padanya hanya berawal dari celetukan rekomendasi seorang kawan untuk meliriknya saat dia menulis. Iya, aku suka tulisannya. Klise memang. Tapi apa yang dia tulis begitu bekerja bak obat bius yang kemudian mengakukan sekujur tubuh. Yang aku tahu, dia hanya menuliskannya dengan bahasa sederhana dengan menyelipkan diksi-diksi sulit yang aku tak pernah berhasil menebaknya. Tapi semakin aku tak menemukan artinya, aku semakin suka pada misterinya. Iya, dia horor. Aku suka.
Sampai mana aku tadi? Ah, aku sering begini. Akibat terlalu sering memujinya, aku sampai lupa harusnya bercerita dengan alur yang terbaik. Namun, tak apalah. Sekali lagi, ini ceritaku. Aku baru saja menghabiskan sisa malam dengan mencoba kemahirannya mengekspresikan sebuah hal sepele menjadi satu judul karya yang kembali menumpuk stok obat biusku. Kutantang dia dengan segelas teh dingin yang sudah kulenyapkan dengan kejam karena dehidrasiku yang tak tertahankan pasca menikmati perjalanan kaki menuju kedai ini dengannya. Kemudian dia tuliskan sebuah kalimat yang kata-katanya mungkin bisa kujadikan sebuah paragraf:
“Gelas kaca berlengan lumpuh pasca berlarian pagi dengan pujaan hatinya meskipun tak tersampaikan kekagumannya, dan dia berkeringat.”
(Fahmi Rachman Ibrahim, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar