NOW AVAILABLE! "DIALOG BISU"

Kamis, 18 September 2014

Sepenggal Elegi


Sampai juga akhirnya di ujung gang panjang ini. Luar biasa memang rasanya. Lelah, lega, puas, “akhirnya”, dan mungkin, sedikit bangga. Ya meskipun harusnya ada satu rasa bahagia ketika akhirnya sampai di ujung perjalanan panjang ini, tapi memang belum muncul juga rasa itu.
Sudah pagi. Tapi aku merasa masih gelap, dan, udara juga masih pengap. Meski begitu, rasaku sudah mati karena sepertinya ini bukanlah pagi. Ini adalah sebuah elegi. Kira-kira seperti itu yang kaugambarkan di dalam petikan lagumu, sebuah lagu yang kemudian banyak dirasa merefleksikan rasa beberapa orang. Sebuah lagu yang entah disengaja atau tidak dibuatnya, tapi akhirnya sedikit “meledak” di hati penggemarmu, iya, kamu memang idola.
Lagu itu kemudian kuputar-ulang, mungkin saat aku menulis ini, sudah terulang tujuh kali, atau delapan kali. Saat ini aku sedang depresi, menyusur kota mati dengan mobil tua dan sisa bensin yang tak lagi banyak, dengan iringan lagumu. Hanya lagumu. Aku tak punya banyak stok lagu karena memang aku tak suka musik. Musikmulah yang bisa kugilai. Terima kasih, ngomong-ngomong.

Minggu, 07 September 2014

Selamat Malam, Kota Surabaya!


Selamat malam, Kota Surabaya! Kamu masih bangun, ternyata. Ini sudah tengah malam, segeralah tidur karena besok hari senin. Bukankah besok pagi jalananmu akan dipenuhsesaki karyawan-karyawan yang berangkat pukul enam tigapuluh dengan perasaan gondok luar biasa karena tak siap bahwa hari itu sudah hari senin? Besok pagi, langit-tidak-segarmu juga akan penuh asap solar-solar mesin diesel lagi, terutama di sepanjang Kalianak sampai Osowilangon. Yang tidak kalah sibuk tentu jalanan di Walikota Mustajab. Seperti biasa, ajudan-ajudan Bu Risma akan mensterilkan kawasan sekitar Balai Kota sebelum orang nomor satu di Surabaya masuk ke kantornya. Jadi, istirahatlah, harimu besok sangat padat.

Senin, 25 Agustus 2014

Deskriptif Nonaktif


Selama di kota perantauan yang lain, aku sering berbalas BBM dengan salah satu kawan kuliahku dulu, Nadila. Perempuan berkerudung yang dulu kutahu suka dengan gaya casual dan sepatu sneaker. Dia sering menanyakan kabarku, mengirim pesan di BBM, menghubungiku lewat Skype, berbalas mention di Twitter, dan beberapa bentuk perhatian yang lain. Aku suka dengan perhatiannya.
Pertemuanku dengan Nadila di kedai susu di Kota Malang saat itu adalah yang pertama kali sejak dua tahun kami lulus kuliah. Tepatnya sejak kedekatan kami yang berawal hanya dari media-media sosial dan media maya. Kita sering menyebut sebagai kawan maya. Pertemuan yang sangat berkesan saat itu, dia tidak berubah dengan gaya khasnya yang dulu memang sempat kusuka.
Selain untuk show, salah satu alasanku menerima kembali pinangan untuk plesir ke Malang adalah ingin bertemu dengan Nadila. Entah, meski kami belum jelas berstatus apa -hanya dengan sebutan kawan maya- tapi ingin hati ini untuk menemuinya. Malam ini, setelah mengisi di workshop siang tadi, memang masih sedikit terbayang perempuan yang kukira adalah perempuan berkerudung ungu siang tadi. Aku sangat yakin itu dia. Entah mengapa tadi seperti dia tidak mendengar atau menangkap maksudku.

Selasa, 28 Januari 2014

Bapakmu Cinta Aku, Le!

Sambil memakan potongan-potongan nangka yang ditanamnya sendiri di tanah belakang rumah yang beberapa orang percaya itu bekas salah satu pertempuran jaman penjajahan Belanda, ia membawa bayinya ke depan balkon setelah memandikannya. Sekitar pukul tujuh waktu bagian pagi, matahari yang masih relatif hangat kemudian siap menyehatkan bayinya. Iya, jam segini saatnya bayi untuk caring. Lewat obrolan dengan suara lirihnya, ia tetap mengajak mengobrol bayinya meskipun mustahil akan dijawab atau minimal direspon. Sesekali ia selipkan nama bayinya di tengah obrolannya sambil berharap kelak bayinya akan bisa menghafal namanya yang sedikit panjang dan cukup rumit.

Rabu, 22 Januari 2014

Terlambat Sepersekian Detik

Pagi ini ia terbangun dengan sarapan yang terlalu awal. Ia melakukannya tak sesiang biasanya, sekitar pukul enam pagi. Biasanya, ia habiskan sarapannya dengan susah payah sejak pukul setengah satu tengah hari. Terlalu terlambat? Tidak, ia biasa melakukannya. Katanya, perutnya tak biasa mencerna kumpulan makanan-makanan di waktu-waktu yang terlalu dini. Aneh memang, karena orang-orang butuh asupan untuk tabungan energi melakukan aktifitas harian dan memang ia bukan sebagian orang pada umumnya. Ia tak pernah melakukan apapun. Ya, ia tak pernah melakukan apapun sejak kepergian kekasihnya menuju negara lain yang berjarak dua blok dari tempatnya tinggal.
Anehnya, pagi ini ia melawan pantangan itu. Ia nekat melahap nasi demi nasi sedini mungkin karena tak kuat menahan tangis sedih kerinduan pada kekasihnya. Ia paksakan menenggak obat-obat penenang seperti biasanya yang sering ia sebut sebagai alat untuk melupakan kesendiriannya dan kerinduan yang semakin sulit dibendung. Komunikasi sulit menjadi salah satu sebab atas alasannya breaking the habbit.